Senja Terakhir di Atap Rumah Lama
Langit sore itu seolah menyembunyikan seribu kata yang tak pernah terucap. Warna jingga dan emas bercampur biru kelabu menari perlahan di cakrawala, memantul di genteng-genteng tua rumah yang sudah lama tak dipugar. Cahaya matahari yang terakhir sebelum tenggelam memberi kilau hangat pada dinding-dinding kusam dan pohon-pohon rindang di kejauhan. Tak ada yang istimewa, kecuali kenangan yang begitu kuat tertinggal di setiap sudut pandang.
Raka berdiri diam di atap rumah tua itu. Usianya hampir mencapai kepala empat, tapi wajahnya masih menyimpan garis-garis masa lalu yang tak bisa dihapus waktu. Ia menatap langit senja dengan mata berkaca. Di tangannya tergenggam sebuah foto lusuh: potret keluarga lama yang pernah menghiasi dinding ruang tamu.
Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal. Ini adalah ruang yang pernah penuh tawa, tangis, harapan, dan kehilangan. Di sinilah, dulu ibunya mengajarinya cara membuat teh hangat di sore hari, dan ayahnya duduk dengan koran sore sambil sesekali memanggilnya untuk sekadar bertanya kabar sekolah.
"Raka, kamu harus bisa jadi cahaya, meski langit sedang gelap," suara ibunya menggema dalam kenangan, persis seperti langit senja hari ini. Kalimat itu selalu diucapkan saat Raka merasa gagal, ketika rapornya tak sebagus teman-temannya, atau ketika ia takut bicara di depan kelas.
Kini, setelah puluhan tahun, Raka kembali ke rumah yang nyaris lapuk itu. Ia baru saja menyelesaikan tugas terakhir sebagai pengacara, kasus yang begitu berat dan penuh tekanan. Ia berhasil, tapi dalam kemenangan itu, ia merasa kehilangan. Dunia dewasa ternyata tak seindah janji-janji masa kecil.
Rumah ini sudah akan dijual. Ia dan adik-adiknya setuju untuk melepasnya, karena terlalu banyak biaya untuk merawat. Tapi hati Raka belum siap. Ia merasa seperti mengkhianati semua kenangan yang tertinggal di tiap retakan tembok dan suara lantai yang berderit.
Langit senja semakin pekat. Cahaya matahari mulai merunduk di balik perbukitan, menyisakan semburat merah yang seolah berbisik, "ingatlah aku." Di saat itu, angin membawa aroma tanah dan dedaunan, persis seperti aroma masa kecil saat ia bermain layang-layang bersama Rendi, adiknya.
"Kak, kamu ingat nggak, kita pernah naik ke atap ini dan teriak-teriak seakan dunia milik kita?" suara Rendi memecah lamunan.
Raka tersenyum. "Ingat. Waktu itu kita bikin bendera dari sprei ibu. Kita kibarkan dan bilang itu markas rahasia."
Rendi duduk di sebelah kakaknya, membawa dua gelas teh hangat yang dibuat di dapur rumah tua itu. Rasanya masih sama. Sehangat kenangan.
"Aku nggak yakin bisa benar-benar pergi dari rumah ini, Kak. Tapi aku tahu, ini keputusan terbaik," ucap Rendi lirih.
"Iya, aku juga merasa begitu. Tapi mungkin, kita nggak benar-benar pergi. Rumah ini udah jadi bagian dari diri kita."
Raka meneguk teh. Pahit-manisnya mengalir sampai ke hati. Ia lalu membuka kembali foto lusuh yang digenggamnya. Ada ayah dan ibu, tersenyum lebar, memeluk dua bocah kecil di antara mereka. Dalam diam, ia berdoa dalam hati:
"Terima kasih sudah menjadi rumah. Terima kasih sudah jadi langit yang menaungi. Mungkin senja ini adalah yang terakhir di atap rumah lama, tapi kenangannya akan abadi."
Komentar
Posting Komentar