Malam datang lagi,
tanpa aba-aba, tanpa salam,
menggelar sepi di lantai hati
yang sejak lama kehilangan pijakan.
Tak ada suara,
hanya desir angin menepi,
membawa dingin yang tak hanya menyentuh kulit,
tapi menusuk jauh,
ke dasar jiwa yang mulai retak.
Aku bicara pada bayang di cermin,
menanyakan:
"Masih adakah aku yang utuh di sana?"
Tapi yang kulihat hanya mata kosong,
menyimpan rindu yang tak sempat dijelaskan,
dan luka yang terlalu malas disembuhkan.
Kadang aku tertawa,
bukan karena bahagia
melainkan agar dunia tak tahu
betapa sunyinya aku,
betapa kosongnya peluk
yang kupeluk sendiri.
Dulu, ada tangan yang menggenggam,
ada suara yang memanggil namaku
dengan nada yang membuat jantungku ingin pulang.
Sekarang?
Semua tinggal gema
yang terus memantul
di dinding hati yang semakin sempit.
Orang-orang lewat,
mereka tertawa, berlari,
mencinta,
sementara aku diam,
tertambat di satu waktu
yang enggan bergerak.
Kesepian ini bukan cuma sepi,
ia seperti ruang tak bernama,
yang memenjarakan rasa
tanpa tahu caranya keluar.
Tuhan,
jika ini cara-Mu mengajariku bertahan,
maka kuatkanlah aku,
bukan agar tak merasa sepi,
tapi agar tetap hidup
meski sepi ini memilih menetap.
Komentar
Posting Komentar